Senin, 16 April 2012

Jasa Peradaban Islam Dalam Dunia Kedokteran


Ketika Islam datang, bangsa Arab Muslim sejak semula telah memberikan perhatian besar terhadap berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, di samping kemenangan-kemenangan yang dicapai dalam medan perang. Hal ini juga diiringi dengan kemajuan pengetahuan dan kemampuan berpikir yang unggul dalam segala macam ilmu pengetahuan baik yang sifatnya teoritis maupun praktis, di samping kemajuan beragam seni dan industri.

Para pemimpin Islam telah memberikan andil yang signifikan dalam kebangkitan ilmu pengobatan dengan ramuan obat dalam bentuk tablet, bahkan banyak ilmuwan yang berkeyakinan bahwa kata Inggris Drug yang semakna dengan tablet, berasal dari bahasa Arab, seperti halnya ribuan istilah yang lain.

Begitu pula para pemimpin Islam mendirikan banyak rumah sakit besar serta balai pengobatan umum di seluruh wilayah negeri Islam, terlebih pada kurun waktu antara tahun 800 – 1200 M. Kemajuan ini meliputi semua negara Islam dari belahan timur di mulai dari negeri Syam hingga ke belahan barat sampai ke Andalus. Kaum muslimin telah berjasa dalam menjaga dan mempertahankan ilmu pengetahuan setelah bangsa Romawi tidak lagi mampu mengawal dan mengembangkannya. Sementara itu kaum muslimin Arab dengan gemilang bisa menguasai bahkan menambahkan kepadanya berbagai inovasi.

Seiring dengan perkembangan zaman, masjid-masjid menjadi “Jami’at” (universitas-universitas), dan nama masjid diistilahkan dalam bahasa Arab dengan al-Jami’. Pada hari ini kita menamakan institusi-institusi pendidikan yang komprehensif dengan nama Jami’ah dengan tambahan ta’ ta’nits, yang di dalamnya diajarkan berbagai macam disiplin ilmu dunia maupun akhirat.

Didirikanlah rumah-rumah hikmah (buyut al-hikmah) atau tempat-tempat yang menyimpan kitab-kitab, untuk mengumpulkan buku-buku ilmu pengetahuan guna dipelihara dan diterjemahkan. Dan Dar al-Hikmah yang pertama kali didirikan adalah Dar al-Hikmah al-Qiyasiyah pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (abad 2 H). Penguasa Barmak mengumpulkan kitab-kitab berharga dari India, Persia, dan Yunani di tempat ini. Kemudian kegiatan penerjemahan pun berkembang pesat, terutama pada masa pemerintahan al-Ma’mun pada permulaan abad 3 H. Sehingga Dar al-Hikmah menjadi sebuah akademi untuk mengadakan riset (penelitian) ilmiah dan pengkajian di berbagai disiplin ilmu, terlebih lagi ilmu kedokteran. Bangsa Arab menambahkan pengetahuan mereka kepada ilmu-ilmu yang mereka terjemahkan dari ilmu pengetahuan bangsa lain.

Ketika ilmu pengetahuan dan karya-karya tulis mulai menyebar, dan ketika orang-orang sudah kecanduan ilmu pengetahuan, maka Dar al-Hikmah tidak lagi bisa memenuhi keinginan mereka. Karena itu didirikanlah Dar al-Ulum sebagai tempat menyampaikan ceramah-ceramah. Dar al-Ulum yang pertama kali dibangun adalah Daru Ilmi al-Mushili ( di Mushil atau Mosul Irak, abad 3 Hijriyah).

Setelah itu muncul sekolah-sekolah yang dibangun dengan dukungan dari para ustadz (guru) dan orang-orang kaya, dimulai dengan sebuah kelas di mana guru duduk berkumpul bersama para murid. Sekolah yang paling tua adalah Madrasah Abi Bakar al-Asbahan (abad 5 H) di Naisabur, yang di sana diajarkan bermacam-macam ilmu. Setelah itu, sekolah-sekolah ini menjadi lembaga pemerintahan, dan sekolah negeri yang pertama kali adalah al-Madrasah al-Nizhamiyah (abad 5 H di Bagdad dan Khurasan).

Juga disebutkan di sini, bahwa bangsa Arab muslim adalah yang pertama kali menjadikan proses belajar sebagai kewajiban negara, dan yang pertama kali mengenal pengobatan dan penyembuhan gratis. Al-Razi adalah salah satu di antara dokter muslim yang terkenal. Ia telah memulai menulis sejak abad 10 H. Lebih dari 300 kitab dalam bidang kedokteran, seperti halnya ia menulis ensiklopedi kedokteran secara lengkap.

Sementara di Qurthuba (Cordova) muncul al-Zahrawi yang menulis kitab pada abad 10 H dengan memaparkan secara rinci (detail) semua ilmu kedokteran yang ada pada zamannya Sebagaimana ia juga menulis kitab bergambar dalam bidang ilmu bedah, dan ini merupakan kitab yang pertama kali ada sepanjang sejarah kedokteran. Ia juga menggambarkan alat-alat yang biasa digunakan dalam operasi bedah.

Sekolah-sekolah kedokteran didirikan, akan tetapi tetap saja tidak mampu menampung semua aspirasi, karena kedokteran adalah ilmu praktis yang mana sekolah-sekolah tersebut tidak lagi mampu dan sesuai. Karena itu harus ada kajian praktek. Pada masa kita sekarang ini sama dengan rumah sakit. Di antara yang penting adalah al-Muqtadiri, dibangun pada abad 4 H, akan tetapi dihancurkan oleh tentara Mongol. Ada juga al-Nuri al-Kabir pada abad 6 H di Damaskus, dan al-Manshuri pada abad 7 H di Kairo.

Yang mengepalai sebagian rumah sakit-rumah sakit ini adalah para dokter hebat, yang pada masa sekarang semacam dekan fakultas kedokteran, yang dipilih oleh dokter-dokter senior, dan harus memenuhi persyaratan; seperti harus yang paling baik prestise dan prestasinya dalam ilmu kedokteran. Kepemimpinan terhadap lembaga ini merupakan salah satu tugas kenegaraan, karena itu siapa yang menjadi pemimpin berhak menghadap penguasa kapan pun ia mau.

Begitu pula halnya dengan lembaga tersebut, ia dipisah menjadi dua bagian; bagian khusus pria dan bagian khusus wanita. Setiap bagian memiliki unit-unit yang meliputi berbagai spesialisasi, seperti spesialis mata, bedah, pencernaan dan demam, serta spesialis penyakit jiwa dan lainnya. Setiap unit dikepalai oleh seorang ketua, dan hanya kepala dokter atau kepala bagian saja yang berhak mengizinkan para siswa untuk menggunakan berbagai macam tehnik kedokteran jika ia memandangnya layak dan pantas. Di sana ada asisten-asisten yang siap membantu guru atau dosen. Jadi aturan atau tata cara pengangkatan asisten guru ini pada dasarnya merupakan temuan dalam dunia pendidikan Islam[1].

Pada saat itu, untuk masuk ke sekolah kedokteran sangatlah mudah, yaitu seorang murid tinggal duduk di depan dosen, mendengarkan ceramahnya, dan ia bebas menentukan kurikulum yang akan dipelajarinya, bahkan ia juga bebas mempelajari apa saja yang ia inginkan dengan cara berpindah dari satu guru kepada guru lain. Dengan kata lain ia boleh belajar sesuka hatinya, tanpa dibebani dengan kurikulum secara paksa. Akan tetapi yang menarik adalah, bahwa hal ini bukan berarti serampangan seperti sekilas yang bisa ditangkap akal. Sebaliknya ada beberapa kitab utama yang wajib dipelajari oleh seorang siswa, di mana ia tidak mungkin bisa mendapatkan ijazah melainkan jika ia telah menguasai kitab-kitab tersebut.

Barangkali banyak dari kita yang menyadari bahwa aturan semacam ini telah hilang dari kita, padahal kita yang menemukannya. Sekarang malah berpindah ke negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa, dan aturan ini hingga sekarang masih mereka terapkan. Di sana seorang mahasiswa pada program pascasarjana atau tingkat sebelumnya, ia bebas memilih guru dan kurikulum yang akan ia pelajari dengan sebebas-bebasnya. Ia tidak akan dibebani atau dipaksa untuk belajar mata kuliah atau mata pelajaran, tidak oleh guru atau pembimbing.

Masalahnya sekarang, siapa yang mau mengakui, bahwa aturan semacam itu berasal dari bangsa Arab muslim? Atau siapa yang akan mengakui bahwa itu merupakan jasa kebudayaan Islam terhadap dunia ilmu pengetahuan dan metode belajar?

Enam abad telah berlalu setelah penemuan sains ini, dan pada tahun 1537 M kita mendapati seorang dokter berkebangsaan Belgia, bahkan ia termasuk tokoh dan pakar di Universitas Loufan. Ia adalah Andre Pigallus. Ia menerjemahkan kitab al-Razi yang kesembilan ke bahasa Eropa. Tidak lama setelah itu Pigallus diangkat sebagai bapak ahli bedah pada Universitas Badaw. Pada masanya, ia memasukkan istilah-istilah Islam mutakhir dan menggunakan teknik-teknik Islam yang baru dalam aktifitas dan praktek kedokteran pada kuliah kedokteran di Universitas Badaw. Selanjutnya hal itu tersebar ke seantero wilayah Eropa, bahkan memberikan andil yang luar biasa besarnya demi kemajuan dunia kedokteran di Eropa.

Pembaca yang setia, makalah-makalah seperti ini perlu kita hadirkan, dan jejak-jejak sains Islam perlu kita lacak dan kita telusuri. Umat manusia harus diberi informasi yang benar demi keadilan sejarah (Historical Justice). Kemudian yang terpenting dari itu semua adalah upaya untuk membangun kembali sains muslim. Semoga dekat masanya kebangkitan sains Islam kembali. (Faiz)*

(Majalah Qiblati Edisi 10 Tahun I)

[1]Pada waktu berlangsungnya perang Salib (antara 489-669 H/ 1096-1270 M) kota Damaskus telah memiliki 20 madrasah dan 2 buah rumah sakit yang dikelola secara profesional. Rumah sakit yang terbaru biaya operasionalnya perhari sebesar 15 dinar (senilai 60 gr Emas); memiliki pegawai-pegawai yang bertugas mendaftar nama-nama pasien, diagnosa penyakit, nama-nama obat yang diperlukan beserta biayanya dan lain-lain. Para dokter melakukan kunjungan dan pemeriksaan setiap hari, sejak pagi hari. Mereka mengunjungi setiap pasien, melekukan observasi, identifikasi dan tindakan medis.(Baca: Agus Hasan Bashori, Kebangkitan Barat Studi tentang Transmisi Pemikiran dan Sains Ke Barat, Makalah yang dipresentasikan pada Mata Kuliah Sejarah Dan Peradaban Islam, pada tanggal 29 September 2001 di UM Malang)(AHB).

0 komentar:

Posting Komentar